Bila semangat meredup
Nisa mengeluh, karena hampir satu pekan ini hatinya selalu diliputi dengan perasaan gelisah dan was-was. Ibadahnya banyak menurun, kualitas maupun kuantitas. Tilawah Qur’an, shalat dan dzikirnya hanya tinggal sebatas rutinitas yang tidak lagi meninggalkan kecapan rasa nikmat. Nisa menyadari bahwa ia semakin merasa berat untuk meluangkan waktu di tengah malam untuk bertafakkur, berlama-lama dalam shalat dan mengisi waktu untuk berdzikir. Tidak jarang muncul keinginannya untuk mempersingkat waktu shalat hingga ia dapat melakukan aktivitas lainnya.
Sikap lemah
Sikap lemah yang timbul pada diri seseorang ketika ia melakukan ibadah, setelah sebelumnya ia bersemangat, disebut juga dengan istilah futur, seperti apa yang dialami oleh Nisa diatas. Salah satu bentuk futur adalah rasa malas beribadah atau bahkan meninggalkannya sama sekali. Sikap lemah tersebut ditimbulkan oleh renggangnya hubungan seorang hamba dengan Penciptanya. Kesibukan yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas ibadah, banyaknya maksiat atau dosa kepada Allah, akan menyebabkan seseorang merasakan kesempitan dalam urusan dan kegelisahan dalam hatinya. Saat itulah hubungan seorang hamba dan Sang Pencipta merenggang.
Hassan Al-Bashri mengatakan : „Kebaikan itu merupakan cahaya dalam kalbu. Cahaya kalbu yang akan memberikan kekuatan pada tubuh. Sedangkan keburukan itu merupakan kegalapan kalbu, kegelapan yang akan menimbulkan kelemahan tubuh."
Latar belakang timbulnya futur
Futur dapat disebabkan antara lain oleh :
1. Maksiat kapada Allah
Perbuatan maksiat yang diiringi dengan sikap tenang ketika melakukannya (tanpa merasa bersalah & tidak diiringi dengan istighfar) praktis dapat merusak hubungan seseorang dengan Allah swt. Dosa-dosa kecil yang diremehkan seseorang akan semakin menumpuk. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah pernah melukiskan, bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa, maka dosa itu seperti satu noda hitam dalam hatinya. Jika ia beristighfar, maka hatinya akan mengkilat kembali. Bila tidak, maka noda hitam itu akan menutupi hatinya seperti yang difirmankan Allah : Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. (QS. 83:14)
Hati yang diliputi noda hitam itu, kata Rasulullah, akan menjadi hitam legam sehingga tidak dapat membedakan antara kebenaran dan keburukan. Urwah bin Zubair, salah seorang ulama tabi’in pernah mengatakan : „Bila kalian menyaksikan seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudaranya yang lain bagi orang tersebut. Bila kalian lihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudaranya yang lain bagi orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan menunjukkan saudaranya."
Memang benar, bahwa seseorang yang berbuat dosa akan cenderung untuk melakukan dosa lainnya. Sebaliknya seseorang yang melakukan satu kebaikan akan cenderung untuk melakukan kebaikan berikutnya. Keburukan akan merembet pada sikap buruk lainnya, demikian pula kebaikan.
2. Sikap terlalu berlebihan terhadap hal-hal yang dibolehkan (mubah)
Allah memerintahkan untuk melakukan segala sesuatu secara seimbang dan tanpa melampaui batas.
Allah berfirman : "... makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. 7:31)
Abu Sulaiman ad-Darani mengatakan bahwa seseorang yang makan terlalu kenyang akan ditimpa 6 jenis penyakit, yang salah satunya adalah perasaan malas untuk beribadah. Logis memang. Bukankah orang yang merasa perutnya kenyang lebih suka tidur daripada berlama-lama berdiri diwaktu shalat atau duduk untuk berdzikir dan bertafakkur ? Tentu saja berlebihan yang dimaksud bukan hanya berlebihan dalam hal makan.
3. Tenggelam dalam kenikmatan dunia
Artinya, terlalu mengutamakan dunia atau tenggelam dalam aktivitas pencarian harta dan kenikmatan dunia. Dr. Mushtafa as-Siba’i pernah menuliskan dalam bukunya sesuatu yg patut kita renungkan : „Ada dua cinta yang tidak pernah bersamaan dalam satu waktu pada jiwa seseorang, yaitu cinta Allah & cinta maksiat ...".
Bagaimana seseorang bisa mencintai Allah, sedangkan perbuatan maksiatnya itu menjauhkannya dari Allah ? Atau bagaimana seseorang bisa melakukan maksiat, sedangkan ia sangat cinta kepada Allah ? Tepatlah apa yang dikatakan oleh Dr. Mushtafa bahwa kedua cinta ini tidak akan pernah tumbuh bersamaan.
Masing-masing ada saatnya
Fenomena futur ini sebenarnya merupakan satu hal yang wajar.
Rasulullah bersabda : „Setiap amal itu ada masa semangat dan masa lemahnya. Barang siapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam sunnah (petunjuk) ku, maka ia telah beruntung. Namun barang siapa yang beralih kepada selain itu berarti ia telah celaka." (HR. Ahmad)
Satu hari seorang juru tulis Rasulullah, Abu Rub’i Hanzalah, pernah datang pada Rasulullah dan mengadu : „Wahai Rasulullah, Hanzalah telah berbuat nifak ...". „Apa yang kalian maksud dengan nifak itu ?" tanya Rasulullah. „Wahai Rasul, ketika kami bersama-sama anda dan anda mengingatkan kami akan neraka dan surga, seolah-olah keduanya ada di pelupuk mata kami. Akan tetapi jika kami tidak bersamamu, kami dilalaikan oleh anak, istri serta tanah ladang kami yang menjadikan kami banyak lupa."
Kemudian Rasulullah bersabda : „Demi Dzat yang diriku ada ditanganNya, sekiranya kalian terus-menerus dalam keadaan sebagaimana ketika kalian bersamaku, dan selalu dalam keadaam berdzikir, niscaya malaikat akan menyalamimu ketika kalian berada di kasur dan di jalanan. Akan tetapi wahai Hanzalah, masing-masing itu ada saatnya." (HR. Muslim)
Seimbang & realistis
Namun demikian, dua hadits diatas tidak dapat melegalisir sikap kita ketika mengalami kelemahan dalam beribadah. Tapi minimal ada tiga hal yang dapat kita gali dari dua hadits tersebut :
Pertama, bahwa Rasulullah sendiri menganggap fenomena futur itu sebagai hal yang wajar, manakala pada saat lemah itu seseorang tetap memelihara kewajiban dan perintah Allah serta sunnah Rasulullah. Sebagaimana manusia diciptakan dengan kapasitas terbatas, kelemahan & kelelahan dalam beribadah adalah salah satu tabiatnya. Kini tinggal bagaimana mereka mengisi saat-saat lemah itu dengan tindakan yang tidak mengabaikan tuntunan Islam. Ibadah mempunyai cakupan yang luas dan tidak terbatas pada aktivitas tertentu yang dapat menjemukan.
Ucapan Rasulullah pada Hanzalah : „Masing-masing itu ada saatnya," menunjukkan bahwa bermain dan bercengkerama dengan keluarga atau mencari nafkah adalah hal yang diperbolehkan dan bahkan sangat dianjurkan dalam Islam, asalkan semuanya itu dilakukan dengan tidak berlebihan.
Kedua, sikap futur yang ditolelir oleh Islam adalah futur yang terjadi pada batas waktu tertentu dan tidak terus-menerus. Jangan karena menganggap fenomena futur itu wajar, seseorang bersikap „santai-santai" saja ketika ia menyadari bahwa ia sedang futur hingga berlarut-larut. Tetapi segeralah mengambil sikap seperti yang dicontohkan dalam hal ketiga berikut ini. .
Ketiga, adanya sikap sensitif para salafusshalih dalam meraba kesalahan yang dilakukan dan upaya untuk memelihara diri dari kesalahan tersebut, seperti yang dicontohkan oleh sikap Hanzalah. Mereka senantiasa menjaga kesinambungan amal shalih yang mereka lakukan. Kelemahan manusiawi memang tetap ada. Namun hal itu tidak membuat mereka lalai terhadap kewajiban mereka terhadap Allah.
Bersama-sama menanggulangi
Kadangkala seseorang tidak mengetahui kekurangan dan kesalahannya atau bahkan tidak sadar bahwa dirinya sedang mengalami futur, kecuali lewat teguran dan nasihat orang lain. Karena itulah, menanggulangi kasus futur dengan segala fenomenanya menjadi tanggung jawab bersama dan tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.
"... dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. 103:3)
Wallahu a’lam bi shawab.*
Di antara hal-hal yang dapat membantu menghilangkan kerasnya hati dan menjadikannya lunak, lembut dan terbuka untuk menerima kebenaran dari Allah yakni:
• Ma'rifat (mengenal) Allah
Siapa yang kenal Allah, maka hatinya pasti akan lunak dan lembut, dan siapa yang jahil terhadap-Nya, maka akan keras hatinya. Semakin bodoh seseorang terhadap Allah, maka akan semakin berani melanggar batasan-Nya. Dan semakin seseorang berfikir tentang Allah, maka semakin sadar akan kebesaran Allah, keluasan nikmat serta kekuasaan Nya.
No comments:
Post a Comment